Kebaikan, Kebenaran, dan Nilai Manfaat Dalam Rumus Dialektika Socrates

Kadang kebaikan perlu di uji kebenarannya sebab banyak yang baik belum tentu menjad benar pula.

Kebaikan bisa diketahui kebanarannya setelah dilakukan uji coba paktual atau penalaran logis. Uji faktual membutuhkan fakta empirik untuk memastikan sesuatu yang dianggap mujarab bagi masyarakat maka harus dites. sementara uji penalaran dilakukan dengan melahirkan banyak pertanyaan layaknya para filosof yang selalu menanyakan setiap ungkapan yang dianggap sudah benar dan baik. Dia seperti halnya Socrates sosok filosof ini bertanya dalam bentuk dialektika atau dalam pengertian sederhananya dialog, kata dialog cocok bagi penganut pemikiran simpel dan umum agar mudah dimengerti namun jika di runut prosesnya maka dialektika bermakna sebuah diskurusus mendalam atas sebuah persoalan apakah bisa dikategorikan benar dan terukur.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian dianalisa sampai melahirkan kembali argumentasi dan setiap argumentasi dibantahkan dengan argumentasi berbentuk pertanyaan. Tak ada kesimpulan final sebuah jawaban sebab jawaban tersebut melahirkan kembali pertanyaan bahkan setiap jawaban sekaligus pertanyaan kembali. Disinilah kuci kelahiran makna secara mendalam, filosofis dan konsisten sebab proses uji Validasinya terus dilakukan sampai nalar merasa buntu lagi menemukan bantahan dan gugatan atasnya
Cara dialektika Socrates tersebut membuat diskusi, sambil bertanya dan semua jawaban kemudian menjadi pertanyaan kembali dalam 3 kategori, kebaikan, kebenanaran dan nilai mamfaat sebuah kebenaran.

Ini standar pertanyaan dan dialektika Socrates jadi sama sekali bukan omongan kosong sebab diskursusnya memiliki standar mendalam dan konsisten.

Jika kebaikan diuji tidak benar maka mana bisa dikatakan kebaikan, obat yang sejak awal diproduksi untuk menyembuhkan sakit namun ada saatnya menjadi tidak benar sebagai penyembuh sebab digunakan melebihi dosis. Sementara kebaikan harus di uji secara faktual, naratif, logis tidaknya dengan model ferivikasi analitik. Proses verifikasi analitik tersebut tentu dengan asumsi logis, baik berangkat dari pandangan definisi, argumentasi, debat, retorika maupun uji kevalitan menurut aturan sastra.

Proses uji secara nalar ini dilakuakn setelah selesai uji fakta atau sebaliknya uji fakta baru uji nalar. Kedunya satu kesatuan tak terpisahkan. Kebenaran bisa benar dalam logika, tapi bisa salah dalam fakta itulah sebabnya banyak teori tak berdasar sebab bertentangan dengan fakta.

Saya jadi percaya jika banyak orang lapangan kecewa dengan banyaknya teori bahkan membantah bahwa para ilmuwan sebenarnya orang yang paling tidak paham kondisi lapangan, ilmunya dia peroleh dari hasil renungan sementara fakta itulah dasar logika.

Sebaliknya uji fakta tidak selamanya benar juga sebab perubahan pada fakta selalu terjadi. Perubahan ini membuat para filosof berkesimpulan 'panterai', segala sesuatu berubah, sehingga tak ada kebenaran yang final dalam fakta. Ini juga yang menjadi dasar keraguan filosof Modern Karl Popper sampai membuat teori 'falsifikasi' sebagai bentuk bantahan kemutlakan pemikiran para filosof atau teori ilmuan.

Dia (Popper) ingin menunjukkan bahwa kebenaran final itu bisa dibantah, kebenarahn teori itu bisa dibantah dengan dialektika pada fakta dan argumentasi logis. Caranya dengan melahirkan bantahan yang menggugat teori tersebut, disinilah dia akhirnya melahirkan rumus sederhana namun amat filosofis, P1>TS-->EE>P2.

Tentu apa yang ditinggalkan Socrates memang sulit dibantahkan meski Popper sudah membuat rumus atas kebenaran mutlak, tapi minimal bisa didialogkan lagi agar menjadi sinergis memahaminya dan dinamis memahaminya sebab cara terbaik membangun pemahaman dengan adanya dialog pengetahuan, itu juga cara Nur Khalis Madjid ingin membangun peradaban lewat dialog. Kebenaran, kebaikan harus mengantarkan pada nilai mamfaat.

Kadang saya mendengar guru saya menyentil teori Pytagoras yang memang diakuinya benar, baik namun tidak ada gunanya dan mamfaatnya. Pemahamannya, teori Pytagoras tentang rumusnya memang teruji namun apa gunanya pada kita secara implimentatif sehingga pemahaman tak berguna meski benar sulit membuat kita semamin sadar. Mungkin disinilah spiritnya bahwa seseorang akan menjadi lebih merasakan sesuatu itu berharga jika dia membawa mamfaat secra implementasi atau terasa secara personal.

Kita bicara demokrasi yang dianggap baik, benar namun jika ternyata faktanya hanya membuka seluruh data-data bangsa sehingga asing bebas mengeksploitasi informasi tersebut untuk dipergunakan mengintervensi penegakan hukum dan pembuatan kebijakan oleh orang yang disandera karena kasus tertentu. Kita berbicara transparansi minimal untuk mengubur korupsi tidak lagi jalan dan menguasai birokrasi, caranya membuka bukti realisasi anggaran sehingga nampak dimana potensi korupsi demi menghindari penyimpangan secara langsung maupun terselubung, tapi saat data itu digunakan untuk menekan dan menguasai kita oleh pihak asing, disinilah letaknya idealisme yang akan membuat kita menjadi dilematis. Kita akhirnya perlu kembali berfikir kebaikannya sebuah hal yang diperjuangkan, ternyata kebaikan mengantar pada 2 hal, 1. menjadi senjata lawan untuk melumpuhkan kita sendiri, disini kita perlu melakukan refleksi dan penataan ulang, 2 lagi untuk memperbaiki diri dan bangsa, tentu akan sangat baik jika dilanjutkan sebab membawa nilai positif.

Kadang kebaikan di abaikan oleh orang baik karena pandangan dan pengetahuan setiap orang-masing ada bentuknya dan setiap bentuk pengetahuan merupakan bentukan kultural.

Jika ada orangb baik mengutuk kebaikan maka orang baik yang membawanya juga ikut mengutuk orang yang mengutuk tersebut. Jika yang membawa kebaikan itu orang dilema maka akan ikut mengutuknya sampai akhirnya kebaikan itu berada di tong sampah tak berdaya lagi.

Setiap orang punya latar belakang kehidupan, punya budaya, punya orang tua, punya guru, punya banyak teman dan setiap hal tersebut sangat mempengaruhi subjek. Manusia akhirnya dalam nalar logis 'post tradisionalisme', logika 'kulturalisme' megambil kesimpulan, tak ada manusia yang mandiri, tak ada manusia yang bebas dari budayanya, tak ada manusia yang tak berkepentingan sehingga kebenaran, kebaikan dan nilai mamfaat sesuatu akan bersesuaian jika memiliki dasar kesamaan kultural. Pandangan tersebut telah mematahkan logika objektivisme dan normalisasi manusia dari intervensi sebab segala sesuatunya ada intervensinya.

Maka yang jadi korban, kebanaran menjadi digugat, dipertanyakan kembali sampai akhirnya melahirkan dialektika baru.
Kemudian orang yang menilai sebuah kebaikan, kebanaran dan nilai mamfaat juga sangat dipengaruhi oleh kemampuannya mengeksplorasi fakta melalui logikanya, kemampuan empiriknya termasuk renungannya yang melibatkan hati. Nah, jika ternyata dia bukan seorang peneliti menilai sebuah konsep penelitian akan terjadi balance, penilaiannya menjadi tidak berguna, tidak bermamfaat karena spesifikasinya kontradiktif. Bukan berarti dia tidak berhak, sebab konsep hak asasi manusia dan demokrasi telah menempatkan semua manusia menjadi berhak menilai atas sebuah kenyataan baik atau buruknya. Tapi, perlu diingat apakah demokrasi sudah mewakili semua logika kebanaran, apakah konsep hak asasi manusia sudah bersesuaian pada kebanaran hakiki kemanusian.

Kadang sesuatu yang tidak ada kaitannya dikait-kaitkan karena alasan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), kadanga juga sesuatu yang harusnya dikaitkan tapi tidak diakaitkan juga karena alasan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) seakan logika Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi telah menjadi tersandera oleh nalar bebas manusia. Saya bukan mau menggugat demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebab itu bukan porsi saya, hanya memberikan sebuah rumusan atas sebuah pandangan manusia tentang kebenaran yang bisa diplesetkan atau dipandang hina hanya karena kebodohannya saja.

Jika orang baik saja bisa mengabaikan kebaikan apalagi orang jahat, tentu lebih lagi tetapi kadang karena apa orang jahat justru mendukung kebaikan anda. Jika orang baik menolak kebenaran dan kebaikan otomatis orang jahat juga demikian, tapi logika kita kadang terbalik jika menggunakan nalar dialektis sebab ada kalanya orang yang kita pandang jahat menjankan kebaikan dan menghargai sebuah kebaikan dibanding orang yang baik dalam kasat mata kita. Semua tergantung orangnya juga.
Kenapa orang baik bisa mengabaikan kebaikan karena soal kebodohan sesuai penjelasan tadi atau latar budayanya yang kontras. Sementara orang yang kita pandang jahat justru menerima kebaikan dan kebenaran itu jauh lebih pasih dari orang baik alasannya faktor kebetulan dan pengetahuan. Faktor kebetulan ini mungkin karena dia lagi ada masalah maka dia kaitkan dirinya dengan kebaikan agar mendapat simpati publik, mungkin ini cocok dengan penalaran politisi yang kadang ada yang ingin membuat kebaikan dan kebenaran untuk melegitimasi supaya di pandang benar. Faktor Pengetahuan itu juga penting, orang yang jahat bisa lebih mulia dari orang baik karena ilmunya. Nabi sendiri menggariskan bahwa orang yang tidur tapi berilmu bisa lebih baik dari orang shalat karena kebodohannya. Disini kita bisa melegitimasinya dalam persfektif teologis, tapi bisa jadi maksud nabi Muhammad SAW, adalah orang yang tidur tadi juga sekaligus orang baik.
Tapi tetap saya ingin melegitimasi bahwa seburuk-buruk manusia jika dia memiliki ilmu yang baik suatu saat akan memihak pada ilmunya pada kebenaran yang dia pahami. Jika manusia baik yang berilmu maka tentu akan jauh lebih sempurna lagi makna hakiki kemanusiaan sebab agama sendiri di turunkan buat orang-orang berakal dalam Al-Qur'an disebutkan dengan nama 'Ulul-Albab' . Sehingga jalan terbaik untuk menjadi manusia baik adalah menjadi filosof atau arif. Filosof memamdukan hati dan pikiriannya dalam memutuskan kebenaran sehingga dia menjadi arif. Hati berbicara cinta, ketulusan sementara logika atau akal bicara kebenaran sehingga kita berkesimpulan filosof adalah orang yang 'cinta kebenaran'.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indomie,,,,,, selerakuuuuuu......

Home Security camera WardenCam.

Daftar kode rahasia Samsung Galaxy Grand Duos GT-I9082